fost-nepal.org – Legislator di negara bagian Washington akan kembali membahas pada tahun mendatang mengenai kemungkinan adanya negosiasi antara serikat pekerja sektor publik dan penguasa terkait penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Rancangan Undang-Undang (RUU) 1622 ini bertujuan untuk mewajibkan pemerintah untuk bernegosiasi dengan serikat tentang penggunaan teknologi yang dapat memengaruhi gaji maupun evaluasi kinerja pekerja.
Pada sesi sebelumnya, RUU tersebut telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan mayoritas dukungan dari Partai Demokrat, namun terhenti di Senat. Beberapa pihak, termasuk kelompok pengusaha dan pejabat kota, berpendapat bahwa RUU ini dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang berlebihan antara manajer dan pekerja serta berpotensi menghambat inovasi di tempat kerja.
Perwakilan Lisa Parshley, pengusul utama RUU ini, mempersembahkan ide tersebut dalam forum khusus tentang kecerdasan buatan pada Kamis lalu. Parshley menjelaskan bahwa saat ini praktik negosiasi terjadi setelah perubahan diterapkan, tanpa adanya undang-undang yang mengatur proses ini sebelumnya. Ini berpotensi menyebabkan dampak negatif terhadap pekerja yang tidak dipertimbangkan.
Hasil survei oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa lebih dari setengah pekerja cemas terhadap dampak AI di tempat kerja, dengan sepertiga di antaranya khawatir akan kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, negara bagian Maryland telah menjalin kemitraan dengan perusahaan AI untuk memudahkan akses layanan sosial bagi warganya.
RUU ini diharapkan dapat memperkuat posisi pekerja dalam proses adopsi teknologi baru. Penyelidikan lebih lanjut terkait pemanfaatan AI di kalangan pekerja akan dilanjutkan, dengan harapan untuk mencapai kesepakatan yang adil bagi seluruh pihak di masa mendatang.