fost-nepal.org – Sebuah eksperimen yang menarik perhatian telah dilakukan oleh sejumlah pengguna LinkedIn, yang menguji dugaan adanya bias gender dalam algoritma platform tersebut. Salah satu peserta, yang menggunakan nama samaran Michelle, mengganti jenis kelamin dan nama profilnya menjadi Michael. Dia turut serta dalam proyek bernama #WearthePants, bertujuan untuk menilai apakah algoritma LinkedIn lebih menguntungkan pengguna pria dibandingkan wanita.
Selama beberapa bulan terakhir, beberapa pengguna aktif LinkedIn melaporkan penurunan signifikan dalam interaksi dan tayangan dari pos mereka. Hal ini terjadi setelah pernyataan dari Wakil Presiden Teknik LinkedIn, Tim Jurka, yang mengungkapkan bahwa perusahaan telah memperkenalkan model bahasa besar (LLMs) baru yang bertujuan untuk menyajikan konten yang lebih relevan. Michelle, yang memiliki lebih dari 10.000 pengikut, merasakan anomali ketika tayangan posnya tidak lebih tinggi dibandingkan suaminya yang hanya memiliki 2.000 pengikut, memberikan kesimpulan bahwa satu-satunya variabel signifikan adalah gender.
Pengguna lain, seperti Marilynn Joyner, mengalami lonjakan tayangan hingga 238% setelah mengganti gender di profilnya. Pengalaman serupa juga dilaporkan oleh beberapa wanita lainnya. Meskipun LinkedIn menjelaskan bahwa algoritma mereka tidak menggunakan informasi demografis untuk menentukan visibilitas konten, banyak yang tetap mempertanyakan keakuratan klaim tersebut.
Para ahli algoritma sosial menunjukkan bahwa bias implisit bisa saja terjadi meskipun tidak teridentifikasi secara eksplisit. Brandeis Marshall, seorang konsultan etika data, menjelaskan bahwa banyak faktor yang memengaruhi hasil algoritma. Hal ini mencakup tidak hanya atribut pengguna namun juga interaksi mereka dengan konten lain. Sementara itu, michelle mengekspresikan keinginannya untuk melihat LinkedIn bertanggung jawab atas potensi bias yang ada.
Kesesuaian konten dan gaya komunikasi mungkin juga bermain peran penting dalam bagaimana algoritma memprioritaskan tayangan. Dengan kompetisi yang semakin ketat di platform, pengguna menginginkan lebih banyak transparansi dari LinkedIn tentang bagaimana konten mereka ditampilkan.