fost-nepal.org – Dalam rapat tahunan pemegang saham Microsoft yang berlangsung pada 5 Desember, dua proposal mengenai hak asasi manusia mendapatkan dukungan signifikan, masing-masing menerima lebih dari 26% suara. Proposal ini muncul di tengah meningkatnya perhatian terhadap aktivitas bisnis perusahaan di wilayah yang penuh tantangan geopolitik, termasuk kritik terhadap penggunaan teknologi Microsoft oleh militer Israel.
Berdasarkan pengumuman yang dirilis pada 9 Desember, dua dari enam proposal luar yang diajukan berhasil menarik lebih banyak perhatian dibandingkan proposal lainnya. Proposal pertama meminta laporan tentang perluasan pusat data Microsoft di Arab Saudi dan negara-negara dengan catatan hak asasi manusia yang serupa, serta menilai risiko penggunaan teknologi untuk pengawasan negara. Proposal ini mendapat dukungan lebih dari 27% suara.
Proposal kedua berfokus pada penilaian usaha Microsoft dalam menjalankan kewajiban hak asasi manusia, mendapat lebih dari 26% dukungan. Langkah ini meminta perusahaan untuk mengevaluasi efektivitas prosesnya dalam mencegah penyalahgunaan produk AI dan cloud oleh pelanggan yang melanggar hak asasi manusia.
Dukungan terhadap proposal kedua datang dari Institutional Shareholder Services, sebuah penasihat proxy, yang memberikan endorsement langka untuk pengajuan perdana. Namun, kelompok lain, termasuk JLens, berpendapat bahwa proposal tersebut selaras dengan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) yang menginginkan perusahaan memutuskan hubungan dengan Israel.
Selain itu, Microsoft juga baru-baru ini menghentikan akses unit intelijen militer Israel terhadap beberapa layanan Azure setelah adanya temuan bahwa teknologi mereka digunakan untuk survei terhadap warga sipil Palestina. Meskipun semua proposal luar mendapat rekomendasi untuk ditolak oleh dewan direksi Microsoft, hasil pemungutan suara ini menunjukkan adanya kekhawatiran yang semakin meningkat mengenai kontrak perusahaan dengan militer.