fost-nepal.org – Perkembangan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam rekayasa perangkat lunak kini memasuki fase baru yang disebut agentic coding. Hal ini merujuk pada sistem AI yang mampu merencanakan, melaksanakan, dan mengulangi proses pengkodean berdasarkan umpan balik. Meski banyak yang antusias dengan potensi AI untuk mengubah cara pengkodean, banyak implementasi di perusahaan mengalami kendala. Masalah utama saat ini bukan terletak pada model AI, tetapi pada konteks di mana AI ini beroperasi, termasuk struktur dan maksud dari kode yang diubah.
Dalam satu tahun terakhir, banyak alat pengkodean yang awalnya hanya bersifat asisten telah berubah menjadi alur kerja yang lebih mandiri. Penelitian terbaru menunjukkan betapa pentingnya pemahaman yang benar terhadap desain, pengujian, dan validasi dalam codebase yang kompleks. Namun, hasil awal di lapangan mengindikasikan pentingnya rekayasa konteks. Ketika organisasi memperkenalkan alat-alat ini tanpa mengubah alur kerja, produktivitas justru bisa menurun.
Tim yang berhasil memanfaatkan AI dalam pengkodean biasanya mengejar pendekatan struktural. Mereka menciptakan alat untuk menyimpan dan mengelola memori kerja AI, menjadikan spesifikasi sebagai artefak yang penting dan dapat diuji. Selain itu, perusahaan perlu merombak alur kerja mereka sehingga dapat memfasilitasi penggunaan AI secara lebih efektif.
Perubahan dalam pola pikir juga diperlukan. Kode yang dihasilkan AI membawa risiko baru, seperti ketergantungan yang tidak teruji dan pelanggaran lisensi. Tim yang matang mulai menyatu dengan aktivitas agentic ke dalam proses CI/CD mereka, memperlakukan AI sebagai kontributor mandiri yang harus memenuhi standar yang sama seperti pengembang manusia.
Ke depan, para pengambil keputusan di perusahaan diharapkan lebih fokus pada kesiapan teknis untuk memanfaatkan AI secara optimal. Dengan strategi yang tepat, AI dapat menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan, mengubah cara perusahaan mengelola dan menerapkan teknologi dalam pengembangan perangkat lunak.